Total Tayangan Halaman

Minggu, 11 Januari 2015

Review


BAB I
Pengertian Program dan Evaluasi Program

Program adalah suatu rencana yang melibatkan berbagai unit  yang berisi kebijakan dan rangkaian kegiatan yang harus dilakukan dalam kurun waktu tertentu.
Evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan.
Evaluasi program adalah suatu unit atau kesatuan kegiatan yang bertujuan mengumpulkan informasi tentang  realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang guna pengambilan keputusan.
Dari  beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil sebuah keputusan.
Sampai kira-kira tahun 1974 masyarakat masih menganggap bahwa evaluasi pendidikan terbatas pengertiannya pada penilaian hasil belajar.Dasar pemikiran yang digunakan adalah bahwa pendidikan merupakan upaya memberikan satu perlakuan pembelajaran kepada peserta didik.Kesuksesan hasil belajar mereka dapat diketahui melalui kegiatan penilaian.Dibalik dasar pemikiran tersebut terdapat pula anggapan bahwa upaya pendidik dalam menyelenggarakan kegiatan pembelajaran adalah kunci keberhasilan untuk mencapai hasil belajar merupakan hubungan lurus atau linier. Apabila digambarkan  dalam bagan, hubungan antarakeduanya adalah sebagai berikut:

B.  Kaitan antara Penelitian dengan Evaluasi program
Dalam kegiatan penelitian  peneliti ingin mengetahui gambaran tentang sesuatu kemudian dideskripsikan, sedangkan dalam evaluasi program, pelaksana (evaluator) ingin mengetahui seberapa tinggi mutu atau kondisi sesuatu sebagai hasil pelaksanaan program, setelah data terkumpul dibandingkan dengan kriteria atau standar tertentu.
Dalam kegiatan penelitian, peneliti dituntun oleh rumusan masalah, sedangkan dalam evaluasi program, pelaksana (evaluator) ingin mengatahui tingkat ketercapaian program, dan apabila tujuan belum tercapai pelaksana (evaluator) ingin mengetahui letak kekurangan dan sebabnya. Hasilnya digunakan untuk menentukan tindak lanjut atau keputusan yang akan diambil.

C. Ciri-ciri dan Persyaratan Evaluasi Program
Ciri dan persyaratan evaluasi program mengacu pada kaidah yang berlaku, dilakukan secara sistematis, teridentrifikasi penentu keberhasilan dan kebelumberhasilan program, menggunakan tolok ukur baku, dan hasil evaluasi dapat digunkan sebagai tindak lanjut atau pengambilan keputusan.
Sejalan dengan pengertian yang terkandung didalamnya, maka evaluasi evaluatif memiliki ciri-ciri dan persyaratan sebagai berikut:
    Proses kegiatan penelitian tidak menyimpang dari kaidah-kaidah yang berlaku  bagi penelitian pada umumnya.
    Dalam melaksanakan evaluasi, peneliti harus berpikir secara sistematis, yaitu memandang program yang diteliti sebagai sebuah kesatuan yang terdiri dari beberapa komponen atau unsur yang saling berkaitan satu sama lain dalam menunjang keberhasilan kinerja dari objek yang dievaluasi.
    Agar dapat mengetahui secara rinci kondisi dari objek yang dievaluasi, perlu adanya identifikasi komponen yang berkedudukan sebagai faktor penentu bagi keberhasilan program.
    Menggunakan standar, kriteria, atau tolak ukur sebagai perbandingan dalam menetukan kondisi nyata dari data yang diperoleh dan untuk mengambil kesimpulan.
    Kesimpulan atau hasil penelitian digunakan sebagai masukan atau rekomendasi bagi sebuah kebijakan atau rencana program yang telah ditentukan. Dengan kata lain, dalam melakukan kegiatan evaluasi program, peneliti harus berkiblat pada tujuan program kegiatan sebagai standar, kriteria dan tolak ukur.
    Agar informasi yang diperoleh dapat menggambarkan kondisi nyata secara rinci untuk mengetahui bagian mana dari program yang belum terlaksana, maka perlu ada identifikasi komponen yang dilanjutkan dengan identifikasi sub komponen, sampai pada indikator dari program yang dievaluasi.
    Standar, kriteria, atau tolak ukur diterapkan pada indikator, yaitu bagian yang paling kecil dari program agar dapat dengan cermat diketahui letak kelemahan dari proses kegiatan.
    Dari hasil penelitian garus dapat disusun sebuah rekomendasi secara rinci dan akurat sehingga dapat ditentukan tindak lanjut secara tepat.


D. Komponen, Subkomponen, dan Indikator Program
Program merupakan  satu kesatuan dari beberapa bagian atau komponen yang saling berkait untuk mencapai tujuan yang ditentukan oleh sistem tersebut.  Komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.Masing-masing komponen terdiri atas beberapa subkomponen dan masing-masng subkomponen terdapat beberapa indikator.
Dalam kegiatan evaluasi program, indikator merupakan petunjuk untuk mengetahui keberhasilan atau ketidakberhasilan suatu kegiatan. Perlu diketahui bahwa ketidakberhasilan suatu kegiatan dapat juga dipengaruhi oleh komponen atau subkomponen yang lain.

    Tabel 1. Ilustrasi Identifikasi Komponen, Subkomponen, dan Indikator Program Pengajaran
Program    Komponen    Sub Komponen    Indikator



Pembelajaran        Kerajinan    1.    Selalu masuk sekolah
2.    Datang ke sekolah tidak terlambat
3.    Selalu mengerjakan tugas
4.    Menyerahkan tugas tepat waktu
5.    dst
        Kedisiplinan    dst
        Semangat belajar    dst
        motivasi    dst
        Minat    dst
        Pengaturan waktu    dst
    Guru    Kemampuan menyusun ranpel    dst
        Penguasaan materi    dst
    Materi/kurikulum    dst    dst
    Sarana/prasarana    dst    dst
    Manajemen    dst    dst
    Lingkungan    dst    dst

E. Tujuan Evaluasi Program
Evaluasi program bertujuan untuk mengetahui pencapaian tujuan program yang telah dilaksanakan.Selanjutnya, hasil evaluasi program digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan kegiatan tindak lanjut atau untuk melakukan pengambilan keputusan berikutnya.
Ada dua kemungkinan asal (dari mana) orang untuk dapat menjadi evaluator progrm ditinjau dari program yanga akan dievaluasi.Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Menentukan asal evaluator harus mempertimbangkan keterkaitan orang yang bersangkutan dengan program yang akan dievaluasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut evaluator dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu (1) evaluator dalam dan (2) evaluator luar.

1.      Evaluator Dalam (internal evaluator)
        Yang dimaksud dengan evaluator dalam adalah petugas evaluasi program yang sekaligus merupakan salah seorang dari petugas atau anggota pelaksana yang dievaluasi. Adapun kelebihan dan kekurangan evaluator dalam, yaitu

Kelebihan:
1)      Evaluator memenuhi betul program yanga akan dievaluasi sehingga kekhawatiran untuk tidak atau kurang tepatnya sasaran tidak perlu ada. Dengan kata lain, evaluasi tepat pada sasaran.
2)      Karena evaluator adalah orang dalam, pengambilan keputusan tidak perlu banyak mengeluarkan dana untuk membayar petugas evaluasi.
Kekurangan:
1)      Adanya unsur subjektifitas dari evaluator, sehingga berusaha menyampaikan aspek positif dari program yang dievaluasi dan menginginkan agar kebijakan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik pula. Dengan kata lain, evaluator internal dapat dikhawatirkan akan bertindak subjektif.
2)      Karena sudah memahami seluk beluk program, jika evaluator yang ditunjuk kurang sabar, kegiatan evaluasi akan dilaksanakan dengan tergesa-gesa sehingga kurang cermat.
2.      Evaluator Luar (External Evaluator)
Yang dimaksud dengan evaluator luar adalah orang-orang yang tidak terkait dengan kebijakan dan implementasi program. Mereka berada diluar dan diminta oleh pengambil keputusan  untuk mengevaluasi keberhasilan program atau keterlaksanaan kebijakan yang sudah diputuskan. Melihat bahwa status mereka berada diluar program dan dapat bertindak bebas sesuai dengan keinginan mereka sendiri maka tim evaluator luar ini biasa dikenal dengan nama tim bebas atau timindependent team.
Kelebihan:
1)      Oleh karena tidak berkepentingan atas keberhasilan program maka evaluator luar dapat bertindak secara objektif selama melaksanakan evaluasi dan mengambil kesimpulan. Apapun hasil evaluasi, tidak akan ada respon emosional dari evaluator karena tidak ada keinginan untuk memperlihatkan bahwa program tersebut berhasil. Kesimpulan yang dibuat akan lebih sesuai dengan keadaan dan kenyataan.
2)      Seorang ahli yang dibayar, biasanya akan mempertahankan kredibilitas kemampuannya. Dengan begitu, evaluator akan bekerja secara serius dan hati-hati.
Kekurangan:
1)      Evaluator luar adalah orang baru, yang sebelumnya tidak mengenal kebijakan tentang program yang akan dievaluasi. Mereka berusaha mengenal dan mempelajari seluk – beluk program tersebut setelah mendapat permintaan untuk mengevaluasi. Mungkin sekali pada waktu mendapat penjelasan atau mempelajari isi kebijakan, ada hal-hal yang kurang jelas. Hal itu wajar karena evaluator tidak ikut dalam proses kegiatannya. Dampak dari ketidakjelasan pemahaman tersebut memungkinkan kesimpulan yang diambil kurang tepat.
2)      Pemborosan, pengambil keputusan harus mengeluarkan dana yang cukup banyak untuk membayar evaluator bebas.
Melihat kelebihan dan kekurangan dari masing-masing evaluator, timbul pertanyaan: evaluator manakah yang lebih baik? Sebaiknya, orang yang ditunjuk sebagai evaluator berasal dari dalam dan luar program, yaitu gabungan antara orang-orang di dalam program atau unsur kebijakan, digabung dengan orang –orang dari luar.

F. Manfaat Evaluasi Program
Evaluasi  sama artinya dengan kegiatan supervisi. Kegiatan evaluasi/supervisi dimaksudkan untuk mengambil keputusan atau melakukan tindak lanjut dari program yang telah dilaksanakan.Manfaat dari evaluasi program dapat berupa penghentian program, merevisi program, melanjutkan program, dan menyebarluaskan program.
G. Evaluator Program
Evaluator program harus orang-orang yang memiliki kompetensi yang mumpuni, di antaranya mampu melaksanakan, cermat, objektif, sabar dan tekun, serta hati-hati dan bertanggung jawab.Evaluator dapat berasal dari kalangan internal (evaluator dan pelaksana program) dan kalangana eksternal (orang di luar pelaksana program tetapi orang yang terkait dengan kebijakan dan implementasi program).
H. Hakikat antara Tujuan Program dengan Tujuan Evaluasi Program
Program adalah suatu rencana yang melibatkan berbagai unit  yang berisi kebijakan dan rangkaian kegiatan yang harus dilakukan dalam kurun waktu tertentu untuk diimplementasikan di lapangan. Sedangkan evaluasi program bertujuan  untuk mengumpulkan informasi berkenaan dengan implementasi program yang dipergunakan untuk melakukan kegiatan tindak lanjut atau pengambilan keputusan.


BAB II
Pengembangan Kriteria dalam Evaluasi Program
    Pengertian Kriteria
Istilah “kriteria” dalam penilaian sering dikenal dengan kata “tolak ukur” atau “standar”. Dari nama-nama yang digunakan tersebuut dapat segera dipahami bahwa criteria, tolak ukur atau standar. Adalah suatu yang digunakan sebagai patokan atau batas minimal untuk sesuatu yang diukur. kriteria atau standar dapat disamakan dengan “takaran”. Jika untuk mengetahui berat beras digunakan dengan timbangan, panjangnya benda digunakan meteran maka kriteria atau tolak ukur digunakan untuk menakar kondisi objek yang dinilai.
Permasalahan di dalam kriteria evaluasi program adalah aturan tentang bagaimana menentukan peringkat-peringkat kondisi sesuatu atau rentangan-rentangan nilai, agar data yang diperoleh dapat dipahami oleh orang lain dan bermakna bagi pengambil keputusan dalama rangka menentukan kebijakan lebih lanjut. Jika evaluator tidak berniat membuat kriteria khusus, sebaiknya menggunakan kriteria yang sudah lazim digunakan dan dikenal oleh umum, misalnya skala 1-10 atau skala 1-100.
Jika kriteria untuk prestasi belajar menggunakan sepuluh jenjang penilaian, yaitu 1 sampai dengan 10, atau 1 sampai 100 (meskipun tidak semua digunakan secara rutin), untuk nilai dalam evaluasi program pada umumnya menggunakan kriteria atau tolak ukur lima jenjang. Namun tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan tiga jenjang atau tujuh jenjang.
Apakah memang harus gasal? Tentang gasal atau genapnya jenjang kriteria ada kelebihan dan kekurangan. Jika jenjangnya gasal, berarti ada nilai ditengah untuk menyatakan “cukup” atau “sedang”. Ada sebagian ahli yang “mencurigai” penggunaan nilai tengah karena dikhawatirkan untuk responden yang ragu-ragu dalam menentukan pilihan, akan dengan cepat memilih nilai tengah. Untuk menghindari hal ini penyusun mencantumkan pilihan genap. Dengan demikian, penyusun tidak menyediakan pilihan nilai tengah. Untuk itu, banyaknya pilihan bisa 2, 4, atau 6. Jika pilihannya terlalu banyak, dikhawatirkan justru akan membingungkan responden dan dikatakan terlalu njlimet.
    Mengapa Perlu Ada Kriteria
Kriteria atau tolak ukur perlu dibuat oleh evaluator karena evaluator terdiri dari beberapa orang yang memerlukan kesepakatan di dalam menilai. Selain alasan sederhana tersebut, ada beberapa alasan lain yang lebih luas dan dapat dipertanggungjawabkan, yaitu:
    Dengan adanya kriteria atau tolak ukur, evaluator dapat lebih mantap dalam melakukan penilaian terhadap objek yang akan dinilai karna ada patokan yang diikuti.
    Kriteria atau tolak ukur yang sudah dibuat dapat digunakan untuk menjawab atau mempertanggungjawabkan hasil penilaian yang sudah dilakukan, jika ada orang yang ingin menelusuri lebih jauh atau mengkaji ulang.
    Kriteria atau tolak ukur digunakan untuk mengekang masuknya unsure subjektif yang ada pada diri penilaian. Dengan adanya kriteria maka dalam melakukan evaluasi, evaluator dituntun oleh kriteria, mengikuti butir demi butir tidak mendasarkan diri atas pendapat pribadi (yang mungkin sekali “dikotori” oleh seleranya).
    Dengan adanya kriteria atau tolak ukur maka hasil evaluasi akan sama meskipun dilakukan dalam waktu yang berbeda pula. Misalnya penilai sedang dalam kondisi badan yang masih segar atau dalam keadaan lelah hasilnya akan sama.
    Kriteria atau tolak ukur memberikan arahan kepada evaluator apabila banyaknya evaluator lebih dari satu orang. Kriteria atau tolak ukur yang baik akan ditafsirkan sama oleh siapa saja yang menggunakannya.
    Apa Dasar Pembuatan Kriteria?
Dengan pengertian bahwa kriteria adalah suatu ukuran yang menjadi patokan yang harus dicapai maka kriteria tersebut harus “top” kondisinya. Timbul pernyataan, dari manakah yang “top” itu diambil? Mengingat banyaknya objek yang diukur dan dengan harapan serta kondisi yang berbeda-beda maka ada beberapa sumber pembuatan kriteria. Kriteria atau tolak ukur sebaiknya dibuat bersama, dan dibuat oleh orang-orang yang akan mengunakannya, yaitu calon evaluator dengan maksud agar pada waktu penerapannya tidak ada masalah karena mereka sudah memahami, bahkan tahu apa yang melatarbelakanginya.
    Cara Menyusun Kriteria
Sebelum membicarakan tentang bagaimana menyusun kriteria atau tolak ukur perlu terlebih dahulu dipahami bahwa wujud dari kriteria adalah tingkatan atas gradisi kondisi sesuatu yang dapat ditranfer menjadi nilai. Secara garis besar ada dua macam kriteria, yaitu kuantitatif dan kriteria kualitatif.
    Kriteria kuantitatif ada dua yaitu a. kriteria tanpa pertimbangan b. kriteria dengan pertimbangan.
    Kriteria kuantitatif tanpa pertimbangan
Kriteria yang disusun hanya dengan memperhatikan rentangan bilangan tanpa mempertimbangkan apa-apa dilakukan dengan membagi rentangan  bilangan.
Contoh
Kondisi maksimal yang diharapkan untuk prestasi belajar diperhitungkan 100%. Jika penyusun menggunakan lima kategori nilai maka antara 1% dengan 100% dibagi rata sehingga menghasilkan kategori sebagai berikut.
    Nilai 5 (baik sekali), jika mencapai 81-100%
    Nilai 4 (baik), jika mencapai 61-80%
    Nilai 3 (cukup), jika mencapai 41-60%
    Nilai 2 (kurang), jika mencapai 21-40%
    Nilai 1 (kurang sekali), jika mencapai <21%
Istilah untuk sebutan yang menunjukan kualiatas bukan hanya dari Baik sekali, sampai dengan Kurang Sekali, tetapi bisa Tinggi Sekali, Tinggi, Cukup, Rendah dan Rendah sekali, atau mungkin Sering, Sering Sekali, sampai dengan Jarang Sekali. Selain itu, dapat juga menggunakan istilah-istilah lain yang menunjukan kualitas suatu keadaan, sifat, atau kondisi seperti banyak sekali, sibuk sekali, dan lain-lainnya. Untuk pertimbangan atau pendapat orang, penyusun dapat menggunakan kata setuju, sependapat, dan lain-lain.
    Kriteria Kuantitatif dengan Pertimbangan
Ada kalanya beberapa hal kurang tepat jika kriteria kuantitatif dikategorikan dengan membagi begitu saja rentangan yang ada menjadi rentangan sama rata. Sebagai contoh adalah nilai di beberapa perguruan tinggi untuk menentukan nilai dengan huruf A, B, C, D, dan E. bagaimana menentukan nilai untuk masing-masing huruf mengacu pada peraturan akademik berdasarkan besarnya persentase pencapaian tujuan belajar sebagai berikut:
    Nilai A: rentangan 80-100%
    Nilai B: rentangan 66-79%
    Nilai C: rentangan 56-65%
    Nilai D: rentangan 40-55%
    Nilai E: kurang dari 40%
Melihat pengkategorian nilai-nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa rentangan di dalam setiap kategori tidak sama, demikian juga jarak antara kategori yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dibuat karna adanya pertimbangan tertentu berdasarkan sudut pandang dan pertimbangan evaluator.
    Kriteria kualitatif
Kriteria kualitatif adalah kriteria yang dibuat tidak menggunakan angka-angka. Hal-hal yang dipertimbangkan dalam menentukan kriteria kualitatif adalah indicator dan yang dikenai kriteria adalah komponen. Seperti halnya kriteria kuantitatif, jenis kriteria kualitatif juga dibedakan menjadi dua, yaitu kriteria kualitatif tanpa pertimbangan dan kriteria kualitatif dengan pertimbangan. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.
    Kriteria Kualitatif tanpa pertimbangan
Penyusun kriteria tinggal menghitung banyaknya indicator dalam komponen, yang dapat memenuhi persyaratan. Dari penjelasan tentang hubungan antara indikator, komponen, dan program tersebut dapat disimpulkan bahwa
1). Komponen adalah unsure pembentuk kriteria program
2). Indikator adalah unsure pembentuk kriteria komponen.
    Kriteria kualitatif dengan pertimbangan
Dalam menyusun kriteria, terlebih dahulu tim evaluator perlu merundingkan jenis kriteria mana yang akan digunakan, yaitu memilih kriteria tanpa pertimbangan atau dengan dengan pertimbangan. Jika yang dipilih adalah kriteria kriteria dengan pertimbangan maka tentukan indikator mana yang harus diprioritaskan atau dianggap lebih penting dari yang lain.
    Kriteria kualitatif dengan pertimbangan disusun melalui dengan dua cara, yaitu dengan mengurutkan indikator, dan dengan menggunakan pembobotan.
1). Kriteria Kualitatif dengan Pertimbangan Mengurutkan Pertimbangan
    Jika penyusun memilih kriteria kualitatif dengan pertimbangan mengurutkan indikator dengan urutan prioritas maka dihasilkan kriteria kualitatif dengan pertimbangan sebagai berikut.
    Nilai 5, jika memenuhi semua indikator.
    Nilai 4, jika memenuhi (b), (c), dan (d) atau (a).
    Nilai 3, jika memenuhi salah satu dari (b) atau (c) saja, dan salah satu dari (d) atau (a).
    Nilai 2, jika memenuhi salah satu dari empat indikator.
    Nilai 1, jika tidak ada satu pun indikator yang memenuhi.
Penentuan nilai yang dikemukakan di atas hanya merupakan contoh. Kita perlu mempertimbangkan apa saja indikator yang diidentifikasikan, mana yang ditentukan sebagai indikator penting, serta bagaimana gradasi nilai dibuat dalam menentukan kriteria. Yang penting adalah bahwa apa pun yang ditentukan harus didukung oleh argumentasi atau penalaran yang benar, yaitu alasan yang masuk akal.
Perlu diketahui oleh para evaluator bahwa mengadakan identifikasi indikator dan subindikator seperti yang dicontohkan memang bukan pekerjaan yang mudah. Untuk dapat lebih teliti mendapatkan indikator dari sebuah komponen dan mendapatkan subindikator dari masing-masing indikator, diperlukan pelatihan dan pembiasaan. Selain itu, perlu juga diketahui bahwa ada kalanya sebuah indikator sudah tidak dapat dipecah lagi menjadi lebih kecil, yaitu subindikator. Dalam keadaan seperti itu, indikator hanya merupakan satu-satunya dasar pembuatan kriteria atau tolak ukur.
2). Kriteria Kualitatif dengan Pertimbangan Pembobotan
Jika dalam menentukan kriteria dengan pertimbangan indikator, nilai dari tiap-tiap indikator tidak sama, kemudian letak, kedudukan, dan pemenuhan persyaratannya dibedakan dengan menentukan urutan, dalam pertimbangan pembobotan indikator-indikator yang ada diberi dengan bobot berbeda. Penentuan peranan subindikator dalam mendukung nilai indikator harus disertai dengan alasan-alasan yang tepat.
        Kalau sudah ditentukan pembobotannya, kini para penilai tinggal memilih akan menggunakan skala berapa dalam menilai objek. Mungkin skala 1-3, 1-4, atau 1-5, atau bahkan seperti yang lazim digunakan di sekolah, yaitu skala 1-10? Terserah saja. Yang penting adalah proses pada waktu menentukan nilai akhir indikator.
Cara memperoleh nilai akhir indikator adalah
a). mengalikan nilai masing-masing subindikator dengan bobotnya.
b). membagi jumlah nilai subindikator dengan jumlah bobot.
Adapun rumus nilai akhir indikator adalah sebagai berikut.
Nilai indikator=(Jumlah bobot indikator ×nilai subindikator)/(Jumlah bobot)
Jumlah bobot subindikator disingkat BSI, nilai indikator disingkat NI, nilai subindikator disingkat NSI, dan jumlah bobot disingkat JB maka rumus nilai akhir indikator dalam singkatan adalah sebagai berikut.
NI=(BSI ×NSI)/JB
    Penggunaan kriteria dengan pertimbangan unsur dan pembobotan ini banyak diguinakan dalam dunia pendidikan. Ketika guru menentukan nilai akhir mata pelajaran, biasanya memberikan bobot nilai ujian lebih besar dibandingkan dengan nilai ulangan harian. Sebagai kelengkapan pertimbangan, nilai tugas juga diperhitungkan dalam menambah unsur penunjang, tetapi bobot yang diberikan lebih kecil dari ulangan dan ujian. Ada kalanya dosen juga memperhitungkan kehadiran sebagai salah satu unsur yang dipertimbangkan. Alasannya, jika seorang mahasiswa hadir kuliah, meskipun minim, tentu memperoleh ilmu yang tersimpan di otaknya. Perolehan itu tentu lebih besar bibandingkan dengan nol besar yang diperoleh mahasiswa yang tidak hadir. Dengan masuknya unsur kehadiran dalam menentukan nilai akhir ini, hasil penilaian menjadi lebih cermat sehingga lebih baik.
    Setelah kita memahami  cara menentukan nilai indikator dengan dasar hasil penilaian subindikator, selanjutnya adalah menentukan nilai komponen dengan dasar nilai indikator, dan nilai program dengan dasar nilai komponen. Jika dalam menghitung nilai akhir indikator kita menggunakan rumus berdasarkan subindikator maka dalam menghitung nilai komponen menggunakan indikator sebagai unsur. Adapun rumus nilai akhir komponen adalah sebagai berikut.
Nilai komponen=(Jumlah bobot indikator ×nilai indikator)/(Jumlah Bobot)
Jika nilai komponen disingkat NK, bobot indikator disingkat BI, nilai indikator disingkat NI, dan jumlah bobot disingkat JB maka rumus dalam singkatan adalah sebagai berikut.
BI=((BI ×NI))/JB
Bertitik tolak pada pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
    Tinggi rendahnya kualiatas suatu program sangat tergantung dari tinggi rendahnya kualitas komponen.
    Tinggi rendahnya kualiatas komponen tergantung dari tinggi rendahnya kualitas indikator.
    Tinggi rendahnya kualitas indikator tergantung dari tinggi rendahnya kualitas subindikator.




BAB III
MODEL DAN RANCANGAN EVALUASI PROGRAM PENDIDIKAN

    BERBAGAI MODEL EVALUASI PROGRAM
Dalam ilmu evaluasi program pendidikan, ada banyak model yang biasa digunakan untuk mengevaluasi suatu program. Meskipun antara satu dengan yang lainnya berbeda, namun maksudnya sama yaitu melakukan kegiatan pengumpulan data atau informasi yang berkenaan dengan objek yang dievaluasi, yang tujuannya menyediakan bahab bagi evalusi belajar pengambilan keputusan dalam menentukan tindak lanjuti suatu progam.
    Ada beberapa ahli evaluasi pendidikan yang dikenal sebagai penemu model evaluasi program adalah Stufflebeam, Metfessel, Michael Scriven, Stake, dan Glaser. Kaufman dan Thomas membedakan model evalusi menjadi delapan.
    Goal Oriented Evaluation Model, dikembangkan oleh Tyler.
    Goal Free Evaluation Model dikembangkan oleh Michael Scriven.
    Formatif Summatif Evalution Model, dikembangkan oleh Michael Scriven.
    Contenance Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake.
    Responsive Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake.
    CSE-UCLA Evaluation Model, menekankan pada “kapan” evaluasi dilakukan.
    CIPP Evaluation Model, yang dikembangkan oleh Stufflebeam.
    Discrepancy Model, yang dikembangkan oleh Provus.
    Tidak semua Model yang disebutkan diatas dibahas pada bab ini,  tetapi hanya model-model yang banyak dikenal serta digunakan. Adaupun beberapa diantara medel-model yang dimaksud adalah sebagai berikut.



    Goal Oriented Evaluation Model
Goal oriented evaluation model ini merupakan model yang muncul paling awal, yang menjadi objek pengamatan adalah tujuan dari program yang sudah ditetapkan jauh sebelum program dimulai. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan, terus-menerus, mencek seberapa jauh tujuan tersebut sudah terlaksana di dalam proses pelaksanaa program.

    Goal Free Evaluation Model
        Model ini dapat dikatan berlawanan dengan model pertama. Jika model pertama evaluator terus-menerus memantau tujuan, yaitu sejak awal proses terus melihat sejauh mana tujuan tersebut sudah dapat dicapai, dalam goal free evaluation (evaluation lepas dari tujuan) justru menoleh dari tujuan. Yang perlu diperhatikan dalam progam tersebut adalah bagaimana kerjanya program, dengan jalan mengidentifikasi penampilan-penampilan yang tejadi, baik dari segi positif maupun negatif.
        Alasan mengapa tujuan program tidak perlu diperhatikan karena ada kemungkinan evaluator terlalu rinci mengamati tiap-tiap tujuan khusus. Jika masing-masing tujuan khusus tercapai, artinya terpenhi dalam penampilan, tetapi evaluator lupa memerhatikan seberapa jauhmasing-masing penampilan tersebut mendukung penampilan akhir yng diharapkan oleh tujuan umum maka akibatnya jumlah penampilan khusus ini tidak banyak manfaatnya.

    Formatif-Summatif Evaluation Model
        Model ini menunjukan adanya tahapan dan lingkup objek yang dievalusi, yaitu evaluasi yang dilakukan pada waktu program masih berjalan (disebut evaluasi formatif) dan ketika program sudah selesai atau berakhir(disebut evalusi sumatif).
Berbeda dengan model yang pertama dikembangkan, model yang kedua ketika dilaksanakan evaluasi, evaluator tidak dapat melepaskan diri dari tujuan. Tujuan evaluasi formatif memang berbeda dengan tujuan evaluasi sumatif. Dengan demikian model ini mennjukan tentang “apa, kapan, dan tujuan” evaluasi tersebut dilaksanakan
Tujuan evaluasi formatif  yaitu mengetahui seberapa jauh program yang dirancang dapat berlangsung, sekaligus menidentifikasi hambatan. Sedangkan fungsi evaluasi summatif sebagai sarana untuk mengetahui posisi atau kedudukan individu dalam kelompoknya.

    Contenance Evaluation Model
Menurut ulasan yang ditambahkan oleh Fernndes (1984), model ini menekankan adanya pelaksanan dua hal pokok, yaitu (1) deskripsi dan (2) pertimbangan serta membedakan adanya tiga tahap dalam evaluasi program, yaitu (1) antesedan, (2) transaksi, dan (3) keluaran. Model evaluasi diajukan dalam bentuk diagram, menggambarkan diskripsi dan tahapan seperti berikut.


     Rational                 Intens              Observation                          Standard          Judgement
                
                                                                 Antecedents
                                                                Transaction   
                         Outcomes
                      Description matrix                          Judgement matrix
Tiga hal yang dituliskan diantara dua diagram, menunjukan objek atau sasaran evaluasi. Dalam setiap program yang dievaluasi, evaluator harus mampu mengidentifikasi tiga hal, yaitu (1) antesedan yang diartikan konteks, (2) transaksi yang diartikan proses, dan (3) outcome yang diartikan sebagai hasil. Selanjutnya, kedua matriks yang digambarkan sebagai diskripsi dan pertimbangan, menunjukan langkah-langkah yang terjadi selama proses evaluasi.
Matriks  pertama, yaitu deskripsi, berkaitan atau menyangkut dua hal yang menunjukan posisi sesuatu(yang menjadi sasaran evaluasi), yaitu apa maksud/tujuan yang diharapkan oleh program, dan pengamatan/akibat, atau apa yang sesungguhnya terjadi atau apa yang betul-betul terjadi. Selanjutnya evaluator mengikuti matriks kedua, yang menunjukan langkah ertimbangan, yang dalam langkah tersebut mengacu standar.
    CSE-UCLA Evaluasi Model
        CSE-UCLA Evaluasi Model terdiri dari dua singkatan, yaitu CSE dan UCLA. CSE singkatan dari Center for the Study of Evaluation, sedangkan UCLA singkatam dari University of California in Los Angales. Ciri dari model CSE-UCLA adanya 5 tahap yang dilakukan dalam evaluasi, yaitu perencanaan, pengembangan, implementasi, hasil, dan dampak.

    CIPP Evaluation Model
Model evaluasi ini merupakan model yang paling banyak dikenal dan diterapkan oleh para evaluator. CIPP merupakan sebuah singkatan dari huruf awal empat buah kata, yaitu.
Context evaluation : evaluasi terhadap konteks
Input evaluation     : evaluasi terhadap masukan
Processb evaluation : evaluasi terhadap proses
Product evaluation  : evaluasi terhadap hasil
    Keempat kata yang disebutkan dalam singkatan CIPP tersebut merupakan komponen dari proses sebuah program kegiatan. Dengan kata lain, model CIPP adalah model evaluasi yang memandang program yang dievaluasi sebagai sebuah sisiem. Dengan demikian, jika tim evaluator udah menentukan model CIPP sebagai model yang akan dugunakan untuk mengevaluasi progam yang digunakan untuk mengevaluasi progam yang ditugaskan maka mau tidak mau mereka harus menganalisis progam tersebut berdasarkan komponen-komponenya.
    Discrepancy Model
        Kata discrepancy adalah istilah bahasa Inggris, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “kesenjangan”. Model ini menekankan pada pandangan adanya kesenjangan di dalam pelaksanaan program. Evaluasi program dilakukan oleh evaluator mengukur besarnya kesenjangan yang ada di setiap komponen
    Model Evaluasi yang Tepat untuk Program Pemrosesan
a. Model Goal Oriented Evaluation Model untuk Program Pemrosesan
b. Model Goal Free Evaluation Model untuk Program Pemrosesan
c. Model Formatif Summatif Evalution Model untuk Program Pemrosesan
d. Model Deskripsi Pertimbangan untuk Program Pemrosesan
e. Model Evaluasi CSE-UCLA untuk Program Pemrosesan
f. Model Evaluasi CIPP untuk Program Pemrosesan.
 g. Model Evaluasi Kesenjangan untuk Program Pemrosesan

3. Model Evaluasi yang Tepat untuk Program Layanan
a. Model Goal Oriented Evaluation Model untuk Program Layanan
b. Model Goal Free Evaluation Model untuk Program Layanan
c. Model Formatif Summatif Evalution Model untuk Program Layanan
d. Model Deskripsi Pertimbangan untuk Program Layanan
e. Model Evaluasi CSE-UCLA untuk Program Layanan
f. Model Evaluasi CIPP untuk Program Layanan
 g. Model Evaluasi Kesenjangan untuk Program Layanan

4.  Model Evaluasi yang Tepat untuk Program Umum
a. Model Goal Oriented Evaluation Model untuk Program Umum
b. Model Goal Free Evaluation Model untuk Program Umum
c. Model Formatif Summatif Evalution Model untuk Program Umum
d. Model Deskripsi Pertimbangan untuk Program Umum
e. Model Evaluasi CSE-UCLA untuk Program Umum
f. Model Evaluasi CIPP untuk Program Umum
 g. Model Evaluasi Kesenjangan untuk Program Umum

BAB IV
Perencanaan Evaluasi Program

    Pengertian Analisis Kebutuhan
Menurut pendapat Roger Kaufman dan Fenwick W. English dalam bukunya Needs Assessment, Concept, and Application, (1979) mengungkapkan bahwa analisis kebutuhan tidak dapat melepaskan diri dari pembicaraan system pendidikan secara keseluruhan. Dari pendapat kedua ahli tersebut mengajak kita untuk memasuki proses transformasi seperti model evaluasi yang dikemukakan oleh Stufflebeam, yaitu mendasarkan pembicaraan pada empat unsure evaluasi, yaitu konteks masukan, produk (hasil). Lebih jauh kita berfikir, jika empat unsure itu yang diutamakan, brarti kita arahkan perhatian kita pada dua tema pokok dalam system pendidikan, yaitu manajemen dan kurikulum.
    Menyusun Proposal Evaluasi Program
Perlu ditegaskan kembali bahwa pada dasarnya evaluasi program tidak lain adalah penelitian, tetapi memiliki cirri khusus. Meskipun memiliki kekhususan, namun ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan oleh evaluator, sama dengan hal-hal yang harus diperhatikan oleh peneliti.
BAB V
LANGKAH-LANGKAH EVALUASI PROGRAM

    Persiapan Evaluasi Program
Penyusunan evaluasi terkait dengan model seperti apa yang akan diterapkan dalam melakukan kegiatanevaluasi program. Model-model tersebut dapat berupa model CIPP, model Michael, model Stake, model Kesenjangan, model Glaser, model Michael scriven, model evaluasi kelawanan, dan model Need Assessment. Pemilihan model ini bertanggung pada tujuan evaluasi program yang akan dilaksanakan dan kriteria keberhasilan program, sehingga dalam penyusunan evaluasi hal penting yang harus diketahui oleh seorang evaluator adalah tujuan program dan kriteria keberhasilan program.
    Pelaksanaan Evaluasi Program
Evaluasi rencana merupakan jenis evaluasi yang banyak dilakukan orang terutama setelah banyak inovasi diperkenalkan dalam pengembangan program. Persyaratan-persyaratan program sebagai rencana format, keterbacaan, hubungan antar komponen, organisasi vertical dan horizontal dari pengalaman belajar, biasanya merupakan hal yang menuntut perhatian evaluator pada waktu melakukan evaluasi program sebagai suatu rencana.

Saya merevieu buku dengan judul EVALUASI PROGRAM PENDIDIKAN, pengarang Prof. Dr. Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar, M.Pd. penerbit Bumi Aksara, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar